Free Soccer Ball Cursors at www.totallyfreecursors.com
PerMiDi: MATA DI JALANAN
RSS

MATA DI JALANAN

 
Sahabat, jika bepergian naik apa? Sepeda, motor, mobil, bus atau helikopter? Apapun kendaraannya, tentulah lewat jalan (nada iklan minuman botol). Pastinya Sahabat tidak menutup mata ketika di jalan. Yup, selain rawan kecelakaan jika berkendara di jalanan sambil menutup mata, alasan lainnya adalah pemandangan di jalanan sangat sayang untuk dilewatkan. Kalau memang selama ini Sahabat menutup mata ataupun hanya melihat lurus ke depan, cobalah untuk melihat sekeliling (tentunya tetap konsentrasi berkendara), tatap kanan kiri jalanan. Banyak pelajaran yang terdapat di sana. Bahkan seorang teman ana pernah bertanya, "Ukh (sapaan untuk saudara perempuan), kalau naik motor ngebut, ya?" Pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan yang tak butuh jawaban, karena memang teman ana itu tahu betul kalau ana dan kebanyakan teman-teman ana adalah pembalap di jalanan (tetapi tetap hati-hati, koq). Lantas ana tanya balik ke dia, " Anti (kamu untuk perempuan) ga jadi pembalap, Ukh?" Apa jawabannya?
Dia menikmati meter demi meter perjalanannya. Di jalanan banyak pelajaran, hikmah, sarana bersyukur dan bahkan tak jarang teman ana itu menitikkan air mata tatkala melihat sesuatu yang membuatnya terharu dan malu. Ya, ana sepakat. Meski sering jadi pembalapnya dari pada jadi pengendara pelan, ana juga sering mendapatkan pelajaran luar biasa. Dan yang paling penting adalah di jalanan banyak sarana bersyukur.
Perempatan, menyimpan banyak hikmah. Suara-suara nyanyian dari seorang anak kecil di bawah terik matahari, kaos yang dipakainya bolong-bolong, kakinya kapalan karena tak pakai sandal, mukanya bahkan seluruh tubuhnya hitam. Tetapi setiap kali kita menolaknya untuk memberi uang kepada mereka (karena memang bukan solusi) mereka tetap tersenyum. Lalu kita? Sering kita mengeluh panas, padahal sudah pakai kipas angin, sering kita ngederumel karena uang tinggal selembar (padahal habis karena keborosan kita). Kembali ke perempatan, ada bapak-bapak penjual koran. Fisiknya hampir sama dengan si anak tadi. Dengan semangat berputar-putar di perempatan saat lampu merah menjajakan koran. Tak banyak uang yang didapat dalam sehari. Tetapi dengan itu beliau bangga bisa menghidupi anak dan istrinya. Lalu kita? Sering malu dengan pekerjaan Ayah, marah-marah uang saku kurang, tak bersyukur dan menyesal dilahirkan di keluarga yang sederhana.
Kembali ke jalanan, pinggir kanan kiri banyak pedagang kaki lima, ataupun simbah-simbah pengendara sepeda yang masih semangat kulakan ke pasar. Atau buruh gendong yang di pasar sana. Banyak yang lebih di bawah kita. Dan itu tergambarkan di jalanan, bukalah mata, renungi (tapi jangan sambil berkendara, nanti nabrak) dan yang pasti syukuri .... (key)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment