-postingan kali ini hasil comot sana-sini-
Sebuah renungan dari perang heroik, 3.000 pasukan muslim melawan 200.000 pasukan Romawi bersenjata lengkap.
Sebuah renungan dari perang heroik, 3.000 pasukan muslim melawan 200.000 pasukan Romawi bersenjata lengkap.
Baca kisah selengkapnya di sini atau di mari.
Nah, kalau sudah dibaca kisahnya, saatnya kita berkaca...
Nah, kalau sudah dibaca kisahnya, saatnya kita berkaca...
Kita merasa berat padahal kita tidak pernah berjihad. Kita mengeluh sering pulang malam dan kecapekan karena kita tidak pernah membayangkan mobilitas para sahabat seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang menempuh perjalanan beberapa pekan, lalu berperang beberapa pekan pula. Kita mengeluhkan hari libur yang tersita sehingga jarang berekreasi bersama keluarga karena kita tak pernah menempatkan diri seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang setiap kali berangkat jihad mereka meninggalkan wasiat pada istri dan keluarganya. Kita mengeluh korban tenaga, kehujanan, sampai terkena flu bahkan masuk rumah sakit. Karena kita tak pernah membayangkan jika kita yang menjadi para sahabat. Bukan flu yang menyerang tetapi anak-anak panah yang menancap di badan. Bukan panas dan meriang yang datang tetapi tombak yang menghujam. Bukan batuk karena kelelahan tapi sayatan pedang yang membentuk luka dan menumpahkan darah.
Kita mengeluh dengan pengeluaran sebagian kecil
uang kita karena kita tidak membayangkan betapa besarnya biaya jihad para
sahabat. Mulai dari membeli unta atau kuda, baju besi sampai senjata. Kita
mengeluhkan masyarakat kita yang tidak juga menyambut dakwah sementara Zaid,
Ja’far, dan Ibnu Rawahah bahkan tak pernah mengeluh meskipun berhadapan dengan
100.000 pasukan musuh. Kita merasa berat dan seringkali mengeluh karena kita
tak memahami bahwa perjuangan Islam resikonya adalah kematian. Maka yang kita
alami bukan apa-apa dibandingkan tombak yang menghujam tubuh Zaid bin Haritsah.
Yang kita keluhkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sabetan pedang yang
memutuskan dua tangan Ja’far bin Abu Thalib dan membelah tubuhnya. Yang kita
rasa berat tidak seberapa dibandingkan luka-luka di tubuh Ibnu Rawahah yang
membawanya pada kesyahidan.
Lalu pantaskah kita berharap Rasulullah menangis
karena kematian kita? Pantaskah kita berharap malaikat datang menyambut kita?
Atau bidadari menjemput kita? Kemudian pintu surga dibukakan untuk kita?
Ya Allah, jika kami memang belum pantas untuk itu
semua, jangan biarkan kami mengeluh di jalan dakwah ini. Ya Allah,
anugerahkanlah hidayah-Mu kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan hati kami
condong pada kesesatan sesudah Engkau memberi hidayah pada kami. Aamiin.
Semoga semakin produktif menebar kebaikan, tidak gentar untuk berkorban, jauh dari segala keluhan, optimis melewati setiap ujian, berkontribusi untuk kemenangan.